Sejarah Islam di Indonesia
memperlihatkan bahwa pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan berkembang seiring
dengan dinamika kehidupan masyarakat Muslim. Selama kurun waktu yang panjang,
pendidikan keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berupa pengajian
al-Qur’an dan pengajian kitab, dengan metode yang
dikenalkan (terutama di Jawa) dengan nama sorogan, bandongan dan halaqah.
Tempat belajar yang digunakan umumnya adalah ruang-ruang masjid atau
tempat-tempat shalat “umum” yang dalam istilah setempat disebut: surau, dayah,
meunasah, langgar, rangkang, atau mungkin nama lainnya.
Perubahan kelembagaan paling penting
terjadi setelah berkembangnya sistem klasikal, yang awalnya diperkenalkan oleh
pemerintah kolonial melalui sekolah-sekolah umum yang didirikannya di berbagai
wilayah Nusantara. Di Sumatera Barat pendidikan keagamaan klasikal itu
dilaporkan dipelopori oleh Zainuddin Labai el-Junusi (1890-1924), yang pada
tahun 1915 mendirikan sekolah agama sore yang diberi nama “Madrasah
Diniyah” (Diniyah School, al-Madrasah al-Diniyah). Sistem klasikal
seperti rintisan Zainuddin berkembang pula di wilayah Nusantara lainnya,
terutama yang mayoritas penduduknya Muslim. Di kemudian hari lembaga-lembaga
pendidikan keagamaan itulah yang menjadi cikal bakal dari madrasah-madrasah
formal yang berada pada jalur sekolah sekarang. Meskipun sulit untuk memastikan
kapan madrasah didirikan dan madrasah mana yang pertama kali berdiri, namun
Departemen Agama (dahulu Kementerian Agama) mengakui bahwa setelah Indonesia
merdeka sebagian besar sekolah agama berpola madrasah diniyahlah yang
berkembang menjadi mad-rasah-madrasah formal. Dengan perubahan tersebut berubah
pula status kelembagaannya, dari jalur “luar sekolah” yang dikelola penuh oleh
masyarakat menjadi “sekolah” di bawah pembinaan Departemen Agama.
Meskipun demikian tercatat masih
banyak pula madrasah diniyah yang mempertahankan ciri khasnya yang semula,
meskipun dengan status sebagai pendidikan keagamaan luar sekolah. Pada masa
yang lebih kemudian, mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1964,
tumbuh pula madrasah-madrasah diniyah tipe baru, sebagai pendidikan tambahan
berjenjang bagi murid-murid sekolah umum. Madrasah diniyah itu diatur mengikuti
tingkat-tingkat pendi-dikan sekolah umum, yaitu Madrasah Diniyah Awwaliyah
untuk murid Sekolah Dasar, Wustha untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama,
dan ‘Ulya untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Madrasah diniyah dalam hal
itu dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan klasikal jalur luar
sekolah bagi murid-murid sekolah umum.
Berdasarkan Undang-undang Pendidikan
dan Peraturan Pemerintah. Madrasah Diniyah adalah bagian terpadu dari
pendidikan nasional untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama.
Madrasah Diniyah termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan
untuk mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama
Islam.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun
2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi
dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara
telah menyadari keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di bumi
nusantara ini.
Keberadaan peraturan perundangan
tersebut seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang sedang
mengalami krisis identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan
diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola pengelolaannya. Tapi
karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan ini layak untuk dimunculkan
dan dipertahankan eksistensinya.
Secara umum, setidaknya sudah ada
beberapa karakteristik pendidikan diniyah di bumi nusantara ini.
Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen)
yang berada di tengah masyarakat dan tidak berada dalam lingkaran pengaruh
pondok pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini betul-betul merupakan kreasi dan
swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang menginginkan
pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal.
Kedua, pendidikan diniyah yang berada dalam
lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat nadi kegiatan
pondok pesantren.
Ketiga, pendidikan keagamaan yang diselenggarakan
sebagai pelengkap (komplemen) pada pendidikan formal di pagi hari.
Keempat,pendidikan diniyah yang
diselenggarakan di luar pondok pesantren tapi diselenggarakan secara formal di
pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah formal.
Posting Komentar